Kamis, 10 Maret 2011

Muslim yang kaaffah

Menjadi seorang Muslim yang kaaffah memang tidak mudah, dan saya secara pribadi mengalami hal itu. Bukan hanya saya, banyak Muslim lain pun mengalaminya. Dan hal ini memang menjadi sesuatu fenomena yang menyertai kehidupan kaum Muslim zaman muta’akhir, persis seperti yang digambarkan oleh rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Sesungguhnya di belakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran. Sabar pada hari itu seperti halnya memegang bara api”. Dan Rasulullah tidaklah pernah salah, sesuatu yang baik menjadi pembicaraan pada masa ini dan keburukan menjadi contoh dan trend hidup.

Hasilnya jelas, akhirnya kebanyakan Muslim yang tidak bersabar atas kondisi ini akhirnya tertipu dan mengikuti arus zaman, dan mulai melakukan pengingkaran terhadap syahadat yang mereka ucapkan, sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal sampai akhirnya mereka terbenam seutuhnya dalam lubang biawak yang seharusnya tidak boleh mereka masuki. Kaum Muslim kehilangan identitas mereka sebagai seorang Muslim. Islam menjadi tidak lebih daripada asesoris yang bisa dipakai dan ditinggalkan sewaktu-waktu, tatanan kehidupan rusak dan alam pun berbicara dengan caranya sendiri

Sebagai seorang Muslim, perih rasanya melihat kondisi semacam ini, ketika orang-orang kebanyakan begitu berusaha serius dalam kehidupan mereka, begitu keras dalam perkara keduniaan, tetapi begitu mudah lalai dalam perkara akhirat, padahal kebenaran Allah pasti ketika Dia menyatakan “dan al-Akhirat lebih baik daripada ad-Dunya”. Maka satu-satunya pilihhan adalah terjun untuk menunaikan kewajiban dakwah saya sebagai seorang Muslim, untuk mengembalikan kehidupan Islam ketengah-tengah masyarakat dan menghalau kehancuran yang menggerogoti ummat ini.

Selasa, 01 Maret 2011

KERAGAMAN GENETIK TANAMAN TERUNG HASIL REGENERASI PROTOPLAS

penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman terung melalui kultur protoplas. penelitian menggunakan tiga kultivar terung, yaitu Kopek, Medan dan Dourga.

Isolasi protoplas dimulai dengan penggoresan bagian bawah daun dan inkubasi dalam larutan enzim 0,5% selulase Onozuka RS + 0,5% macerozim R-10 + 0,05% MES + 9,1% manitol dalam larutan CPW selama 16 jam dalam keadaan gelap. selanjutnya dilakukan pemurnian protoplas dengan larutan 21% sukrosa dan pencucian dengan larutan 0,5 M manitol + 0,5 mM CaCl2. protoplas yang dihasilkan dikultur dalam media KM8P dan VKM + 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin dan 1 mg/l NAA. setelah terjadi pembelahan dan pembentukan koloni sel, media diencerkan dengan media dasar + 0,1 mg/l 2,4-D + 0,2 mg/l BA. Kalus yang dihasilkan diregenerasikan pada media padat MS + vitamin MW dengan penambahan 2, 4, dan 6 mg/l zeatin sebagai perlakuan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah protoplas yang dapat diisolasi mencapai 105 setiap kultivar. Inkubasi tanpa cahaya dapat mempercepat pembentukan dinding protoplas dan pembelahan sel. pemberian cahaya pada kultur setelah terbentuk dinding sel dapat mendorong terbentuknya koloni sel. Pengenceran suspensi sel dengan media dasar yang ditambah 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BA dapat memacu pertumbuhan mikrokalus. Jumlah kalus yang dihasilkan pada media MS + vitamin MW + 0,1 mg/l IAA + 1 mg/l zeatin mencapai 5 tunas pada kultivar Kopek dan 1 tunas pada kultivar Medan dengan efisiensi keberhasilan 25-33,5%.

Kombiinasi 0,1 mg/l IAA + 2 mg/l zeatin menhasilkan 13 tunas pada kultivar Kopek dan 2 tunas pada kultivar Medan dengan efisiensi keberhasilan 50-86,67%. Regeneran yang dihasilkan berjumlah 21 tunas yang terdiri dari 18 regeneran kultivar Kopek dan 3 regeneran kultivar Medan. Pemindahan tunas pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan tunas membentuk planlet.

(kata kunci: Solanum melongena, terung, kultur sel, protoplas, keragaman genetik)

PAHITNYA KEHIDUPAN

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.

“Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.

“Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu,
Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar”, sahut tamunya.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.

“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.